Translater

Sabtu, 07 Februari 2009

Anti Rokok bertemu dengan Perokok.

Anti Rokok berkata:

1. Angka belanja rokok orang Indonesia setiap tahun tidak kurang dari 150 trilliun Rupiah. Uang sebanyak itu, kalau semuanya adalah pecahan 50 ribu-an yang disambung-sambung, maka akan sama dengan membuat untaian sepanjang jarak bumi - bulan 7 kali bolak-balik. Atau kalau dibelikan tusuk gigi dan kemudian dirangkai dan dilem bisa menghasilkan maket 7 keajaiban dunia dengan skala 1:20 sebanyak 300 buah. Atau bisa dibelikan sedan Mercedes terbaru sebanyak 300.000 unit.

2. 80% perokok di Indonesia adalah orang-orang miskin yang mungkin bosan hidup dalam kemiskinan, sehingga memilih merokok untuk mempercepat kematian. Yang 15% adalah kalangan menengah yang stress dengan tanggung jawab di pekerjaannya. Dan 5% perokok disini adalah orang kaya yang kebingungan menghabiskan uangnya.

3. Hebatnya lagi, ’orang-orang miskin’ itu, membelanjakan uangnya untuk membeli produk yang membuat 5 atau 6 orang menjadi bagian dari 10 orang terkaya di Indonesia. Dan 'orang-orang kaya' itu menjadi figur perokok yang dicontoh siapa saja.

4. Peringatan tentang bahaya merokok yang sudah tercantum disetiap kemasan ternyata tidak berpengaruh banyak. Perokok 'miskin' kebanyakan tidak bisa baca dan tulis. Perokok 'menengah' ternyata terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak sempat membaca peringatan tersebut. Dan sisanya yang perokok 'kaya' tidak peduli sebab biaya berobat mereka sudah terjamin 17 turunan.

Sedangkan,

Perokok berkata:

1. Masa bodoh, lagian gue beli pake uang sendiri dari keringet sendiri. Masih mending nilai segitu sebagian buat makan puluhan ribu pegawai pabrik rokok, masih dipake bayar pajek yang bikin ente hidup rada nyaman disini. Daripada koruptor yang uangnya dipake buat makan keluarganya yang cuma segelintir.

2. Ngitung dari mana?. Asal nulis nih. Apa dasarnya milih rokok buat mempercepat kematian. Kalo mau cepet mati ya loncat saja dari monas atau panjat tiang listrik trus pegang kabelnya pas hujan.

3. Pake logika dong. Dimana ada orang miskin pasti ada orang kaya. Masa mau kaya semua atau mau miskin semua.

4. Waah semakin ngawur. Rokok bukan penyebab utama kematian dan bukan penyebab utama penyakit. Mau bukti? Lihat tuh di desa-desa, rata-rata penduduk usia lanjut disana rajin merokok dan sehat. Atau mau bukti lainnya? Tuh engkong gue sudah umur 70 tahun masih hidup, trus rokoknya 5 pak sehari. Sudah gitu dia masih segar bugar dan perkasa. Lusa malah dia mau kawin lagi.

Jumat, 06 Februari 2009

SERTIFIKASI, yang sejahtera tambah sejahtera

Terkadang, di belantara pendidikan, Di Dunia Antah Berantah.
Kalau kita perhatikan secara sembunyi-sembunyi dan kita selidiki, ada 2 type guru di sekolah:
Yang pertama selalu on time, selalu hadir kecuali keadaan yang mendesak, selalu hadir waktu upacara/apel senin pagi.
Sedangkan type yang kedua : datang dan pergi sesuka hati, masuk cuma 10 hari kerja dalam sebulan, jarang ikut apel senin pagi, tidur di kantor, anak dikasih catatan saja, kalau disuruh menerangkan sama muridnya selalu bilang : wong nyatat belum selesai kok minta dijelaskan. Saat sudah selesai dicatat, jam pelajarannya sudah habis. Besoknya lagi juga seperti itu...... Duh kasihan kamu nak, nak.
Ternyata setelah saya selidiki yang type satu kebanyakan dari guru non PNS (maaf, ini nyata dan banyak terjadi?)
Dan type kedua justru kebanyakan dari guru ...... ( Maaf diSENSOR). Saya percaya tidak semua GURU ....... seperti itu, tapi di setiap sekolah kemungkinan ada yang seperti itu. Sehingga kalo digabungin jadinya ya banyak sekaleeeeee.

Mudah-mudahan guru-guru baik GTT maupun PNS benar-benar profesional dibidangnya. ???
Apalagi sekarang sudah ada program sertifikasi yang kayaknya hampir 90 % untuk guru PNS yang gajinya sudah sejahtera. Kenapa gak 60 % GTT 40 % PNS atau fifty-fifty, biar sama-sama sejahtera. Atau minimal 40 % GTT 60 % PNS.

Khan aneh kalau ada yang sudah lolos sertifikasi tapi tidak menunjukkan keprofesionalannya.


Maaf bapak2 dan ibu2, jangan tersungging.

Democrazy

Kata guru saya waktu SD, Indonesia adalah negeri yang kaya.
Koes Plus bilang tongkat kayu dan batu jadi tanaman.
Tapi kelaparan dan kurang gizi masih merajalela. Di Timika yang kaya akan tambang emasnya, rakyatnya malah mati kelaparan. Di suatu daerah di Sulsel yang dikenal sebagai daerah lumbung padi, satu keluarga yaitu seorang ibu dan dua anaknya yang masih bocah ditemukan tewas karena kelaparan di rumahnya. Tragisnya para tetangga baru tahu kematian keluarga ini setelah 2 hari. Lalu ke mana melayang azas kekeluargaan dan gotong royong yang didengung-dengungkan itu?

Para turis mancanegara memuji masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sumeh. Rajin menebar senyum, bahkan pada orang asing/tak dikenal sekalipun. Tapi kalau masyarakat awam harus berurusan dengan layanan masyarakat milik pemerintah kemana menguapnya senyum-senyum itu yah? Kadang-kadang pengguna jasa dianggap angin lalu. Silakan ngomong sama tembok, kayaknya sudah jadi prinsip kerja. Menjawab pertanyaan sambil asyik baca koran, atau nonton TV, atau ngetik, atau merokok, atau makan, atau gosip + cekikikan, atau yang lain-lain adalah hal yang biasa. Mungkin menurut mereka semua kegiatan itu begitu penting untuk diinterupsi. Kadang-kadang jawab pertanyaan dengan satu-satu jawaban.
'Hmm..', 'ya', 'ke sana aja', 'nggak', 'orangnya lagi keluar'. Lho, itu suara keluarnya dihitung perkarakter ya? Kayak iklan provider seluler aja. Lebih parah kalau ada rumah sakit-rumah sakitnya pemerintah yang pakai cara itu. Padahal masuk RS aja sudah musibah. Eh ditambah lagi pelayanan semau gue, jutek, ngomong sama tembok disodorin. Bukannya tambah baik, eh malah jadi komplikasi ke yang lain-lain, yang utama jadi komplikasi sama sakit.....hati! Kalau dengar keluhan seperti itu, saya jadi percaya sama banyolan : Orang miskin dilarang sakit. Atau : Namanya juga aparatur negara, ya kerjanya seenaknya dia dong. Khan dia yang punya negara.

Sudah populer di seantero jagat bahwa Indonesia disebut paru-parunya dunia. Tapi anehnya kalimat indah itu kurang populer di Indonesia, karena masih kalah dengan rasa miris seperti kasus illegal logging ataupun pembalakan liar yang lebih populer di sini.

Katanya Indonesia adalah negara agraris. Buktinya sawah terbentang sejauh mana mata memandang. Pemandangan yang paling familiar saat naik kereta Jakarta-Surabaya adalah persawahan. Petak-petak sawah menghampar jika kita lepaskan pandangan dari udara.
Tapi anehnya kok beras aja harus impor? Kenapa swasembada beras baru dibangkitkan sekarang? Lalu padi-padi yang ditanam para petani itu untuk siapa sih?
Kadang-kadang saya jadi termakan juga sama obrolan teman saya yang kerja di UD pertanian terkenal di Sulsel. Dia bilang di Asia beras kita paling disukai karena rasanya yang lebih manis, wangi, dan warnanya natural, dibanding beras mereka. Permintaan akan beras kita sangat tinggi di manca negara.
Lalu kenapa kita harus impor beras ya? Apa demi keuntungan gaya dagang tukar-tambah? Apa demi menimbun selisih harga?
Walaupun sulit, tapi saya berusaha buang jauh-jauh pikiran itu.
Jangan-jangan cuma teori konspirasi belaka, seperti skenario cerdas di episode-episodenya 'The X Files'.

Katanya negara kita menjunjung tinggi asas keadilan dan persamaan kedudukan di mata hukum. Tapi saya tidak bisa menyembunyikan tawa saya setiap nonton berita penggerebekan polisi di penginapan esek-esek kelas bawah. Dengan semangat 45 para peselingkuh dan PSK digelandang.
Tapi kok di hotel-hotel bintang lima nggak pernah ada penggerebekan yah? 'PSK' dan peselingkuh di hotel bintang lima kok nggak pernah dikejar-kejar Satpol PP sih? Aman terkendali!!

Katanya Indonesia negara ramah, santun, dan menjunjung adat ketimuran yang tinggi. Tapi kenapa anarkisme seakan jadi suguhan paling dominan waktu nonton TV? Anarkisme dari level paling bawah seperti penggusuran PKL sampai di level atas seperti di gedung dewan sudah jadi pelajaran baru bagi anak-anak Indonesia. Gedung DPR kok jadi sering berubah settingnya jadi arena freestyle boxing? Kalau acaranya mau dikasih
judul, kayaknya paling cocok: "The Most Humiliate, Scariest, n Dummiest Wrestling Championship in The World". Yang lebih tragis seorang ketua dewan sampai tewas jadi korban amuk massa pendemo. Kok bisa ya?
Kalau iklan bilang, "Tanya kenapa?"
Kalau saya bilang, "Kenapa tanya?"

Turut berduka atas pembunuhan karakter demokrasi Indonesia.