Translater

Jumat, 06 Februari 2009

Democrazy

Kata guru saya waktu SD, Indonesia adalah negeri yang kaya.
Koes Plus bilang tongkat kayu dan batu jadi tanaman.
Tapi kelaparan dan kurang gizi masih merajalela. Di Timika yang kaya akan tambang emasnya, rakyatnya malah mati kelaparan. Di suatu daerah di Sulsel yang dikenal sebagai daerah lumbung padi, satu keluarga yaitu seorang ibu dan dua anaknya yang masih bocah ditemukan tewas karena kelaparan di rumahnya. Tragisnya para tetangga baru tahu kematian keluarga ini setelah 2 hari. Lalu ke mana melayang azas kekeluargaan dan gotong royong yang didengung-dengungkan itu?

Para turis mancanegara memuji masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sumeh. Rajin menebar senyum, bahkan pada orang asing/tak dikenal sekalipun. Tapi kalau masyarakat awam harus berurusan dengan layanan masyarakat milik pemerintah kemana menguapnya senyum-senyum itu yah? Kadang-kadang pengguna jasa dianggap angin lalu. Silakan ngomong sama tembok, kayaknya sudah jadi prinsip kerja. Menjawab pertanyaan sambil asyik baca koran, atau nonton TV, atau ngetik, atau merokok, atau makan, atau gosip + cekikikan, atau yang lain-lain adalah hal yang biasa. Mungkin menurut mereka semua kegiatan itu begitu penting untuk diinterupsi. Kadang-kadang jawab pertanyaan dengan satu-satu jawaban.
'Hmm..', 'ya', 'ke sana aja', 'nggak', 'orangnya lagi keluar'. Lho, itu suara keluarnya dihitung perkarakter ya? Kayak iklan provider seluler aja. Lebih parah kalau ada rumah sakit-rumah sakitnya pemerintah yang pakai cara itu. Padahal masuk RS aja sudah musibah. Eh ditambah lagi pelayanan semau gue, jutek, ngomong sama tembok disodorin. Bukannya tambah baik, eh malah jadi komplikasi ke yang lain-lain, yang utama jadi komplikasi sama sakit.....hati! Kalau dengar keluhan seperti itu, saya jadi percaya sama banyolan : Orang miskin dilarang sakit. Atau : Namanya juga aparatur negara, ya kerjanya seenaknya dia dong. Khan dia yang punya negara.

Sudah populer di seantero jagat bahwa Indonesia disebut paru-parunya dunia. Tapi anehnya kalimat indah itu kurang populer di Indonesia, karena masih kalah dengan rasa miris seperti kasus illegal logging ataupun pembalakan liar yang lebih populer di sini.

Katanya Indonesia adalah negara agraris. Buktinya sawah terbentang sejauh mana mata memandang. Pemandangan yang paling familiar saat naik kereta Jakarta-Surabaya adalah persawahan. Petak-petak sawah menghampar jika kita lepaskan pandangan dari udara.
Tapi anehnya kok beras aja harus impor? Kenapa swasembada beras baru dibangkitkan sekarang? Lalu padi-padi yang ditanam para petani itu untuk siapa sih?
Kadang-kadang saya jadi termakan juga sama obrolan teman saya yang kerja di UD pertanian terkenal di Sulsel. Dia bilang di Asia beras kita paling disukai karena rasanya yang lebih manis, wangi, dan warnanya natural, dibanding beras mereka. Permintaan akan beras kita sangat tinggi di manca negara.
Lalu kenapa kita harus impor beras ya? Apa demi keuntungan gaya dagang tukar-tambah? Apa demi menimbun selisih harga?
Walaupun sulit, tapi saya berusaha buang jauh-jauh pikiran itu.
Jangan-jangan cuma teori konspirasi belaka, seperti skenario cerdas di episode-episodenya 'The X Files'.

Katanya negara kita menjunjung tinggi asas keadilan dan persamaan kedudukan di mata hukum. Tapi saya tidak bisa menyembunyikan tawa saya setiap nonton berita penggerebekan polisi di penginapan esek-esek kelas bawah. Dengan semangat 45 para peselingkuh dan PSK digelandang.
Tapi kok di hotel-hotel bintang lima nggak pernah ada penggerebekan yah? 'PSK' dan peselingkuh di hotel bintang lima kok nggak pernah dikejar-kejar Satpol PP sih? Aman terkendali!!

Katanya Indonesia negara ramah, santun, dan menjunjung adat ketimuran yang tinggi. Tapi kenapa anarkisme seakan jadi suguhan paling dominan waktu nonton TV? Anarkisme dari level paling bawah seperti penggusuran PKL sampai di level atas seperti di gedung dewan sudah jadi pelajaran baru bagi anak-anak Indonesia. Gedung DPR kok jadi sering berubah settingnya jadi arena freestyle boxing? Kalau acaranya mau dikasih
judul, kayaknya paling cocok: "The Most Humiliate, Scariest, n Dummiest Wrestling Championship in The World". Yang lebih tragis seorang ketua dewan sampai tewas jadi korban amuk massa pendemo. Kok bisa ya?
Kalau iklan bilang, "Tanya kenapa?"
Kalau saya bilang, "Kenapa tanya?"

Turut berduka atas pembunuhan karakter demokrasi Indonesia.

Tidak ada komentar: